Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2022

Ruang (2)

  Sebuah kisah tentang ruang. Sang kakek benar-benar menghukum mereka pagi harinya. Semalam, saat mereka memasuki pondok, kakek sudah menunggu mereka di depan perapian. Tubuh kerempengnya tak menghalanginya untuk menjewer telinga kedua anak itu. Janggut tipisnya bergoyang-goyang saat dia menceramahi bahwa 'Pergaulan remaja di Asteria terlalu liar!' dan 'Jika lain kali kalian pualng melewati batas waktu, aku tak akan membukakan pintu lagi! Biar kalian tidur di luar! Buat api sendiri!'. Jadi keesokan harinya dibuatnya Rigel dan Akha menyerok salju seharian. "Jangan masuk bila halaman rumah belum bersih, makan kalian akan kuantar ke halaman," katanya sebelum mengunci pintu pondok. Meninggalkan cucu-cucu itu dengan dua sekop berkarat. "Hari minggu! Seharusnya aku kencan dengan Astrid hari ini!" Akha langsung melemparnya dengan bongkahan salju. "Kau pikir aku juga senang melakukan ini?" Rigel tertawa kecil, "Setidaknya Uwai tidak pernah pi

Ruang (1)

Sebuah kisah tentang ruang. Angin-angin tak pernah berbohong ketika mereka sampaikan musim dingin lewat siur-siur perjalanan mereka. Menggugurkan daun-daun mapel. Menerbangkannya ke Danau Rosemary yang setengah membeku. Para perempuan menutup kepala mereka dengan syal, menjaga rambut mereka dari siur angin nakal. Sementara para lelaki sibuk mengumpulkan kayu-kayu bakar untuk persediaan musim salju. Anak-anak mereka membangun bukit dedaunan dan bersembunyi di dalamnya. Musim dingin, tanah Asteria mulai menebal dibuatnya. Asteria, yang orang-orang sebut sebagai kota para pedagang, tak menunjukkan redup gemilaunya. Di bawah tebing Rald itu, Asteria tetap hidup merayakan turunnya salju. Lampu warna-warni dipasang, tenda-tenda ditandu, diserok pula salju dari setiap gang kecil itu. Sungguh, tak ada pendatang yang sanggup mengalihkan pandang dari kota ini. Tak terkecuali Akha yang mengetukkan kakinya di pinggir tebing Rald, memandang Asteria lewat mata setengah sayunya. "Indah kan?"

Ruang (0)

Sebuah kisah tentang ruang.   "Bang, turun di sini!" seruku sambil bergelantung di pintu angkot. Angkot biru yang kunaiki langsung berhenti. Aku rogoh kantungku dan memberikan beberapa lembar rupiah pada si pak supir. "Makasih, bang. Yuk, nek." Aku cepat-cepat menggandeng nenek turun dari angkot biru yang siap tancap gas itu. Kendaraan-kendaraan di belakang kami sudah ribut karena angkot biru di depan mereka berhenti tiba-tiba. Daerah sumpek itu sedang ramai dan wangi kue pinggir jalan tercium dari mana-mana. Abang-abang berseru dari tiap toko-toko mereka, Namun, bukan pasar ini yang menjadi tujuanku dan nenek datang kemari, melainkan supermarket yang berada tak jauh dari sini. Nenek tiba-tiba memegang tanganku bersamaan dengan tekstur kertas yang langsung kusadari keberadaannya. "Jajanlah dulu. Nanti susul nenek ke supermarket," pesan nenek sembari menepuk pelan tanganku yang mengepal. Nenek tersenyum singkat sebelum berbelok menuju supermarket. Seakan-ak