Ruang (0)

Sebuah kisah tentang ruang.

 "Bang, turun di sini!" seruku sambil bergelantung di pintu angkot. Angkot biru yang kunaiki langsung berhenti. Aku rogoh kantungku dan memberikan beberapa lembar rupiah pada si pak supir. "Makasih, bang. Yuk, nek." Aku cepat-cepat menggandeng nenek turun dari angkot biru yang siap tancap gas itu. Kendaraan-kendaraan di belakang kami sudah ribut karena angkot biru di depan mereka berhenti tiba-tiba.

Daerah sumpek itu sedang ramai dan wangi kue pinggir jalan tercium dari mana-mana. Abang-abang berseru dari tiap toko-toko mereka, Namun, bukan pasar ini yang menjadi tujuanku dan nenek datang kemari, melainkan supermarket yang berada tak jauh dari sini.

Nenek tiba-tiba memegang tanganku bersamaan dengan tekstur kertas yang langsung kusadari keberadaannya. "Jajanlah dulu. Nanti susul nenek ke supermarket," pesan nenek sembari menepuk pelan tanganku yang mengepal.

Nenek tersenyum singkat sebelum berbelok menuju supermarket. Seakan-akan senyum bahagia setengah kelaparanku adalah aba-aba untuk melanjutkan jalan kakinya. Ah, nenek memang selalu peka soal apa yang ada di lubuk hati terdalam cucu-cucunya.

Aku membuka genggaman tanganku. Dua lembar sepuluh ribuan. Aku rasa nenek sedang senang hari ini. Atau mungkin ini hanya ketidaksengajaan semata karena tidak biasanya ia semudah ini memberi dua puluh ribuan hanya untuk jajanan pinggir jalan yang katanya tidak sehat itu.

"Cilornya seribu dua tusuk."

"Empat ribu dong bang."

Aku duduk di kursi hijau sembari menunggu. Mengeluarkan smartphone dari kantong. Ah, ada 3 pesan tak terbaca dari ayah. Sekitar beberapa menit lalu.

Ayah

Aksara sudah sampai di bandara

Mas di rumah kan?

siapin teh buat abang.

Oh tidak. Hari ini kak Aksara pulang dari pertukaran pelajarnya. Aku kira pesawatnya di delay lagi. Aku lalu mencari nomor kak Aksara.

Akasha

Kakak jangan pulang dulu

Ga ada orang di rumah

Kak Aksa

Hai Akhaa!

Lah padahal sudah deket rumah nih TwT

lagi pada ke mana

Akasha 

supermarket deket pasar

Ya udah met nikmati setengah jam di teras rumah

. . .

"Dek! Cilor empat ribu?"

"Iya, saya, bang."

Yah.. kak Aksara gak akan kenapa-kenapa kok kalo menunggu. Lagi pula biasanya kan aku yang menunggu lama-lama di bandara.

"Makasi bang," sahutku setelah menerima cilorku. Lalu menambahkan bubuk cabai dan barbeque. Aku hendak menyusul nenek tapi langkahku berhenti ketika aku melihat kembali bubuk merah barbeque yang mulai basah tercampur minyak cilor. Aku tidak yakin nenek hanya akan diam saja melihat aku memakan jajanan tidak sehat begini.

Aku akhirnya kembali ke kursi hijau. Menyantap cilor rasa barbeque cepat-cepat.

"Asap! Ada asap!"

"Woi panggil pemadam! Woi!"

"Allahuakbar! Allahuakbar!"

Ada beberapa orang heboh menunjuk-nunjuk sesuatu di langit. Itu asap yang tebal. Tidak mungkin itu hanya asap bekas orang membakar sampah. Apa ada yang kebakaran?

"Dari mana asalnya itu bang?" seorang pembeli tampak berdiskusi dengan seorang tukang parkir.

"Nggak tahu juga, Mba. Kayaknya sih dari supermarket."

 Aku langsung terjengkang dari kursiku. Tunggu, nenek kan... sedang di supermarket itu! Kenapa aku bisa cuek begini?!

Aku berlari hingga sampai ke parkiran supermarket yang ramai. Asal dari asap tebal itu. Supermarket itu bukan supermarket yang bagus, terlihat dari betonnya yang ditambal kayu di sana-sini dan dicat berulang kali. Orang-orang sepertinya sudah keluar dari supermarket itu. Membentuk kerumunan di sekitar super market.

"Anakku berdarah. Bagaimana ini?!" tangis seorang wanita yang memeluk bayinya.

"Nenek-nenek tadi masih belom keluar. Aduh ini pemadam di mana?!" pria yang sepertinya adalah tukang parkir berteriak panik.

"Nenek!" Aku berusaha mengalahkan suara-suara ramai tersebut. Menajamkan penglihatanku. Sial terlalu banyak orang. Sudah dari tadi kuraih smartphone dan berusaha menghubungi nenek, tetapi selalu tidak dapat terhubung. Lalu mataku menangkap sesuatu bergerak di antara api. Sesuatu dengan cardigan coklat bermotif. Tenggorokanku tercekat.

Nenek! Nenek masih di sana! Aku berusaha memberi tahu orang-orang di sekitarku dengan panik. Namun sepertinya tak ada yang peduli. Semua orang sibuk, takut. Lalu terdengar sura teriakan dari arah Supermarket. Aku tidak bisa menahan diri lagi.

"Nek!"

"Awas! Adek! Jangan!"

Entah sejak kapan aku sudah berlari memasuki supermarket. Hawa panas menyengat tubuhku. Asap ada di mana-mana. Tapi aku yakin arah mana yang harus di ambil. Aku melepas kemeja marunku dan menjadikannya penutup wajah demi menahan asap.

Aku mulai berlari menyusuri rak-rak tinggi sambil berteriak. Hingga rintihan kecil terdengar dari arah kiri. Ada tubuh kecil berdiri gemetar sambil berpegangan pada rak, sambil menutupi wajah dengan tangan.

"Nek..."

"A-Akha-" nenek tampak terkejut sekaligus takut. Nenek tak berhenti batuk-batuk. Aku melepas cardigan nenek untuk menutup wajahnya.

"Ayo keluar dari sini nek. Mas gendong ya."

Nenek menggeleng pelan. "Jangan... jangan..."

Namun aku mengabaikannya dan menaikkan nenek ke punggungku. "Pegangan, nek."

Api semakin menyebar. Mataku perih karena silau dan asap di mana-mana. Dadaku juga makin sesak. Sulit bernapas. Sementara itu plafon di atas mulai berjatuhan dilahap api. Entah mengapa jalan menuju pintu keluar menjadi lebih panjang.

Tiba-tiba tenggorokanku terasa seperti tercekik. Balok kayu mengganjal kakiku. Aku oleng dan ambruk bersama nenek yang langsung menimpaku. Aku batuk berkali-kali berusaha menyingkirkan rasa sesak yang mengganggu.

"Akha... Tinggalkan nenek," perintah nenek serak. Aku buru-buru menggeleng. Berusaha menopang nenek ke punggung lagi.

"Ayo," kataku singkat. Berdiri lagi. Nenek merintih di belakangku. Terus-terusan menyuruhku meninggalkannya di sini.

Aku berlari menuju pintu yang tinggal berjarak 5 meter lagi. Namun plafon di atas jatuh dan kobaran api melejit membesar. Aku jatuh lagi ke belakang.

"Nek! Nenek tidak apa-apa?" tanyaku panik. Ada suara duk kencang. Rak di belakang bergoyang oleng. Nenek sepertinya menabrak rak di belakang karena aku jatuh tadi. Matanya terpejam dan kulitnya mulai melepuh. Sial! Sial!

Tanganku digenggam. Nenek membuka matanya perlahan, tersenyum lemah.

"Selamatkan diri kamu, Kha."

"Tidak!"

"AKha, dengar nenek. Tidak apa-apa, selamatkan dirimu dulu. Nanti pasti ada pemadam..."

Aku menggeleng keras kepala dan bersiap mengangkat nenek lagi. Tapi sepertinya nenek menahan posisinya di lantai.

"Nenek jangan seperti ini!" isakku.

Samar-samar aku mendengar teriakkan seseorang. Sepertinya pemadam kebakaran sudah sampai. Aku setengah menghela napas lega, lalu berteriak sekencang mungkin dan berharap mereka mengetahui posisi kami. Nenek terlihat mengatakan sesuatu, tapi aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas.

"Lari..., biar... pergi..."

"Apa? Nenek?" Aku mengguncang bahu nenek yang kembali menutup matanya.

"Nenek! Bangun!"

"NEK!"

Pemandangan di sekelilingku buram, mataku dengan cepat memanas. Aku terlalu panik melihat nenek yang tak bereaksi apa-apa. Tidak memperhatikan plafon lain jatuh dari atas sana. Bayang-bayang ayah di kantornya, kak Aksara yang menyeret kopernya memasuki teras rumah, teman-temanku yang menggedor jendela mengajak ke lapangan, dan nenek yang terbaring diam. Semuanya mengabur menjadi satu.

Suara samar di kejauhan berteriak. Berusaha memperingati. Akan tetapi, sudah terlambat. Seketika warna-warna bersatu menjadi putih. Terang. Lalu ledakan sinar putih itu menelanku. Menyedotku habis ke dalamnya. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

CIta-cita Anak Labschool

Ruang (2)

Liburan Sekolahku