Ruang (1)

Sebuah kisah tentang ruang.

Angin-angin tak pernah berbohong ketika mereka sampaikan musim dingin lewat siur-siur perjalanan mereka. Menggugurkan daun-daun mapel. Menerbangkannya ke Danau Rosemary yang setengah membeku. Para perempuan menutup kepala mereka dengan syal, menjaga rambut mereka dari siur angin nakal. Sementara para lelaki sibuk mengumpulkan kayu-kayu bakar untuk persediaan musim salju. Anak-anak mereka membangun bukit dedaunan dan bersembunyi di dalamnya.

Musim dingin, tanah Asteria mulai menebal dibuatnya. Asteria, yang orang-orang sebut sebagai kota para pedagang, tak menunjukkan redup gemilaunya. Di bawah tebing Rald itu, Asteria tetap hidup merayakan turunnya salju. Lampu warna-warni dipasang, tenda-tenda ditandu, diserok pula salju dari setiap gang kecil itu. Sungguh, tak ada pendatang yang sanggup mengalihkan pandang dari kota ini. Tak terkecuali Akha yang mengetukkan kakinya di pinggir tebing Rald, memandang Asteria lewat mata setengah sayunya.

"Indah kan?" seseorang ikut duduk di sebelahnya. Itu Rigel, anak pemilik Pondok Penyembuh yang Akha tumpangi saat ini. Rambutnya hitam legam, tetapi mengabu seiring waktu ia bekerja di pesisir selatan dekat daerah pembakaran arang milik Pak Sentoso. Rigel memang tinggal di Pondok Penyembuh, kedua orang tuanya mengabdikan diri demi kesehatan masyarakat, tetapi hal itu tak lantas membuat anaknya menjadi seorang penyembuh pula. Semenjak orang tuanya wafat, Rigel kecil diurus kakeknya, tak pernah lagi menyentuh perlengkapan kesehatan.

"Uwai tak menunggu terlalu lama kah?" ujar Akha.

Rigel membalasnya dengan gelengan, "Uwai pasti mengerti lah. Kau kan baru pertama kali melihat yang seperti ini. Kapan lagi?"

Akha tersenyum kecil. Rigel terkekeh di sebelahnya, menepuk pundak Akha bak saudara dekat.

"Aku dulu juga pernah melihat pemandangan kota dari atas begini," gumam Akha. Pandangannya tak lepas dari pertunjukkan lampu di bawah sana. Sementara pikirannya mulai memutar bayangan-bayangan masa lampau.

"Bagusan mana sama di sini?" tanya Rigel, memecah lamunan Akha.

Akha tertawa kecil, "Dua-duanya keren. Bedanya di sini ada saljunya." Rigel melipat tangannya dengan senyum penuh kemenangan, seakan kota Asteria merupakan hasil ciptaannya.

Sudah berapa lama waktu berlalu? Akha dan Rigel baru saling mengenal 4 bulan yang lalu. Jika diceritakan pasti panjang sekali sejarah pertemuan mereka. Mengherankan, 4 bulan itu cukup membuat kedua orang yang pendiam itu berteman bak saudara kandung.

"Hei Rigel, kau tahu ini pukul berapa?" kata Akha sembari mengulurkan sebuah jam kecil.

Rigel terhenyak melihat jam tersebut, lantas buru-buru berdiri. "Uwai benar-benar akan menghukum kita."

Maka acara menonton pertunjukkan lampu usai di situ. Akha dan Rigel bergegas memasuki jalan setapak hutan -dengan lentera di angkat tinggi-tinggi- berharap sang kakek tak sadar kalau mereka, yang hanya meminta izin untuk menimba air di sumur tak jauh dari rumah, belum pulang selarut ini.

"Akha? Akha ada apa?" Rigel menghentikan langkahnya ketika menyadari Akha tertinggal tak jauh di belakang.

Akha menempelkan jarinya di bibir, ia menatap sekelilingnya was-was. Rasanya seperti ada yang mengikuti mereka dari tadi. "Kau... dengar itu?" tanyanya pada Rigel.

"Dengar apa?" tanya Rigel memiringkan kepalanya, "aku tak dengar apa-apa. Mungkin hanya efek kau yang mulai mengantuk."

"Tapi-"

"Sudah, sudah. Kau tidak ingin Uwai menambah hukuman kita kan?" sembur Rigel sambil menarik tangan Akha agar ia kembali berjalan.

"Ya, mungkin memang aku yang salah dengar. Ayo..." balas Akha, melanjutkan langkahnya. Namun, tetap saja Akha masih mencuri-curi pandang akan hutan di belakangnya. Ia yakin dirinya tidak mengantuk dan kresak-keresak dedaunan yang mengikuti mereka sepanjang perjalanan memang terdengar senyata itu.

Namun, mungkin saja kan itu memang hanya binatang hutan yang tertarik dengan cahaya lentera mereka? Mungkin Akha hanya sedang paranoid...


Komentar

Postingan populer dari blog ini

CIta-cita Anak Labschool

Ruang (2)

Liburan Sekolahku