Ruang (2)

 Sebuah kisah tentang ruang.

Sang kakek benar-benar menghukum mereka pagi harinya. Semalam, saat mereka memasuki pondok, kakek sudah menunggu mereka di depan perapian. Tubuh kerempengnya tak menghalanginya untuk menjewer telinga kedua anak itu. Janggut tipisnya bergoyang-goyang saat dia menceramahi bahwa 'Pergaulan remaja di Asteria terlalu liar!' dan 'Jika lain kali kalian pualng melewati batas waktu, aku tak akan membukakan pintu lagi! Biar kalian tidur di luar! Buat api sendiri!'.

Jadi keesokan harinya dibuatnya Rigel dan Akha menyerok salju seharian.

"Jangan masuk bila halaman rumah belum bersih, makan kalian akan kuantar ke halaman," katanya sebelum mengunci pintu pondok. Meninggalkan cucu-cucu itu dengan dua sekop berkarat.

"Hari minggu! Seharusnya aku kencan dengan Astrid hari ini!"

Akha langsung melemparnya dengan bongkahan salju. "Kau pikir aku juga senang melakukan ini?"

Rigel tertawa kecil, "Setidaknya Uwai tidak pernah pilih kasih soal hukuman. Heheh"

"Ini gara-gara kau, ingat?!"

"Hei! Siapa yang semalam bilang mau lihat Asteria dari atas?" sanggah Rigel sambil membalas bola salju Akha. Terkikik geli kemudian karena lemparannya telak mengenai target. Di seberang sana Akha langsung menyiapkan bola salju berikutnya, bersiap membalas bola Rigel yang menghantam kepalanya.

"Kena! Ahahaha!"

Dan seterusnya. Mereka pada akhirnya baru benar-benar menyerok salju saat pertengahan menuju siang. Membuat kakek kembali berceramah tentang betapa malasnya anak-anak jaman sekarang dan mengeluh jika seandainya cucunya itu hidup pada masa perang, pasti mereka akan menjadi lebih mandiri. Akha dan Rigel hanya mendengarkan dalam diam dan ketika kakek telah masuk kembali ke dalam, mereka berpandangan sambil mengangkat bahu.

Siang itu cukup terik walau udara masih menyaingi dinginnya es. Alhasil cukup membantu kedua orang di halaman rumah itu menghangatkan diri dan menyelesaikan pekerjaan mereka. Tubuh mereka yang letih direbahkan di teras rumah yang sempit. Mereka minum dengan rakus seakan-akan belum minum beberapa hari.

Akha selalu suka jika berbaring seperti ini. Teras rumah itu, meski sempit, sangat nyaman untuk duduk selonjoran sambil melamun. Lantainya terdiri dari susunan kayu-kayu halus yang tetap terasa sejuk ketika musim panas tiba. Sementara atapnya tersusun dari genting-genting tua yang harus rutin dibersihkan agar tidak diklaim menjadi sarang laba-laba. Sebetulnya semua bagian rumah Rigel memang terdiri dari kayu dan kayu dan kayu juga bambu. Dan itu malah menambah pesona pondok kecil ini di mata Akha.

Pintu berdecit terbuka. Menampakkan sosok kakek yang juga letih, mengibaskan tangannya, mengisyaratkan mereka untuk masuk. "Masuk, Uwai?" tanya Rigel. Kakek mengangguk. Rigel dan Akha berteriak kesenangan walaupun hanya dalam hati.

"Makanlah cepat. Cucian menumpuk, genting di dapur bocor." Lantas kakek juga menunjuk keranjang-keranjang penuh tanaman hutan, "daganganku belum disetor ke Asteria. Jadi, makanlah cepat dan kita akan bekerja."

Akha dan Rigel hanya dapat mendengarkan tanpa protes. Rigel menyeringai, pekerjaan rumah memang selalu seperti ini. Keduanya akhirnya melengos ke meja makan, menemukan sup tahu hangat yang mungkin dalam beberapa detik akan mendingin. Singkat cerita, hari ini menjadi hari yang sungguh sibuk bagi mereka.

Sore itu Akha kembali menjejak tanah Asteria. Membawa sekeranjang penuh tanaman-tanaman hutan yang akan disetorkan kepada beberapa orang pembeli langganan setia kakek. Ia dan Rigel berpencar agar tidak memakan waktu. Rigel menuju ke daerah barat, sementara Akha menuju ke arah utara. Ke toko seorang peramu obat-obat herbal di daerah pemukiman Tenggo yang cukup sepi.

Daerah Asteria terbagi menjadi tiga: daerah utara, daerah barat, dan daerah selatan. Semestara itu bagian timur Asteria diisi oleh hutan lebat yang penduduk kenal sebagai Hutan Ilusi. Di tepi hutan itulah Pondok Penyembuh berdiri. Sebenarnya Hutan itu tidak ada ilusi-ilusinya. Hanya karena kabut yang cukup tebal di daerah itu yang sering membuat orang tersesat menjadikan hutan di timur Asteria dinamakan demikian.

Jalan-jalan di Asteria selalu dipenuhi kios-kios yang menawarkan barang beraneka ragam. Mulai dari bahan makanan, pakaian, kebutuhan sehari-hari, hingga karya seni dan cenderamata. Setelah berjalan beberapa menit ia akhirnya sampai ke Kios Kafz. Tempat pelanggan kakek tinggal. Pak Faz yang merupakan peramu obat di sana dengan cepat menyelesaikan transaksi. Kini, keranjang Akha telah kosong. Ia kembali bergerak menuju daerah pusat Asteria. Berniat menunggu di kedai makanan tempat ia dan Rigel biasa menunggu.

"Selamat datang!" sapa seorang perempuan penjaga kedai.

"Sore, Astrid," balas Akha.

Perempuan itu, Astrid, sudah terbiasa dengan kedatangan Akha dan Rigel di kedainya. 

"Sabar. Rigelnya masih di barat." sahut Akha Jahil. Seakan sudah tahu kalau Astrid memang akan menanyakan tentang Rigel. Astrid yang mendengarnya hanya tersipu malu.

'...Baik pemirsa, kemarin pagi, dikabarkan lagi dari Kheitus bahwa kriminal berseibo masih belum dapat ditangkap. Kabarnya, pelaku kejahatan ini telah mencuri barang berharga dari perpustakaan Kheitus. Tapi tenang saja pemirsa! Saat ini para tentara keamanan kota telah mengetatkan keamanan...' suara pembawa berita terdengar dari radio yang disetel di pojok ruangan.

"Kheitus makin ada-ada saja," celetuk Astrid, "aku tidak habis pikir."

Aku bergumam mengiyakan. Akhir-akhir ini memang sering terdengar kabar kasus-kasus kejahatan dari Kheitus, kota tetangga Asteria.

"Akha, Astrid tinggal dulu ya," Astrid pergi ke belakang kedai meninggalkan Akha termenung di kedai sendirian.

"Menurutmu, apa yang sebenarnya dicuri oleh si kriminal," tiba-tiba sebuah suara terdengar tepat di sebelahnya. Akha terlonjak mendapati kehadiran seorang lelaki bertudung di sampingnya. Suara juga senyum yang terpatri pada wajah yang setengah terlihat itu terasa pernah dikenalnya.

"K-kau..." Akha butuh memastikan penglihatannya beberapa kali sebelum meyakini keberadaan pemuda yang kini duduk di sebelahnya.

"Tidakkah kau penasaran tentang identitas si pencuri?" pemuda itu melanjutkan tanpa menghiraukan reaksi Akha.

"Tunggu, kurasa aku mengenalmu. Kau... bukankah kau orang yang waktu itu juga sempat terjebak di gua?" tanya Akha. Pemuda itu tersenyum tipis, lantas mengangguk dan berkata, "Dan kita terpisah saat berusaha keluar dari Hutan Ilusi, ingat?"

Akha mengangguk kecil. 5 bulan lalu, sebelum hari di mana ia bertemu dengan Rigel, Akha telah bertemu dengan pemuda ini dan empat orang lain. Pertemuan itu terjadi di sebuah gua berlangit-langit rendah. Jauh di selatan Hutan Ilusi, di gua itulah Akha juga kelima orang lainnya pertama kali terbangun dan menemukan diri mereka berada di tempat asing ini.  Mereka bekerja sama hingga dapat keluar dari gua tersebut, menemukan hutan lebat menghadang mereka –Hutan Ilusi. 

Akha dan keempat orang lainnya terus menjelajah, menembus hutan yang berkabut itu, mencari jalan pulang. Namun, yang mereka temukan setelah beberapa hari menjelajah hanyalah kabut. Hingga pada hari kedua mereka melakukan perjalanan, kabut memutuskan untuk memisahkan mereka. Dan Akha yang terpencar sendiri

"Jadi, kau... Arka, kan?" tanya pemuda itu. 

"Akha," koreksi yang punya nama, "dan kau Hara?"

Pemuda itu mengangguk sembari tersenyum. Kini, tudungnya tersibak lebih lebar, memperlihatkan wajah tirusnya dengan bingkai rambut hitam yang nyaris menyentuh leher. "Ya. Maaf, aku tak begitu ingat namamu."

"Tidak apa," jawab Akha maklum, terbiasa mendapat komentar tentang nama panggilannya. "Lagi pula, ini sudah bulan keempat sejak terakhir kita bertemu, kan? Atau bulan kelima?"

"Bulan kelima," sahut Hara.
 
Sekilas Akha melihat sosok Rigel di kejauhan dengan keranjangnya mendekati Kedai Astrid. Hara mengikuti arah tatapan Akha. "Itu temanmu?" tanyanya, terlihat terburu-buru. Akha mengangguk mengiyakan.

"Akha," panggilan dari Hara membuat Akha kembali memperhatikan lawan bicaranya. Sementara itu, Hara menatapnya dengan tampang serius, "Apa kau masih ingin pulang? Pulang ke tempat asalmu?"

Akha membelalakkan mata mendengarnya. Selama ini ia juga mencari kata itu; pulang. Selama ini ia berusaha untuk kembali ke tempat asalnya yang hingga kini tidak kunjung ia ketahui caranya. Ia lupa jika keempat orang yang ia temui di gua itu juga mungkin memiliki tujuan yang sama.

"Maksudmu pulang ke tempat kita? 'Dunia' kita? Tentu saja, tapi kau perlu mengetahuinya, pulau ini-"

"Aku tahu," kata Hara memotong perkataan Akha, beranjak berdiri sembari mengeluarkan sesuatu dari balik jubahnya. Sebuah kertas sobekan seukuran kartu. Ia lalu menunjuk kertas itu yang ternyata berisi suatu alamat. "Kalau kau memang ingin pulang. Aku ada di sini," katanya, lalu tanpa mengucapkan apa-apa lagi, Hara bergegas keluar dari kedai. Bersamaan dengan itu, Rigel memasuki kedai dengan wajah semringah.

"Hah! Akhirnya selesai juga!" Rigel menaruh keranjang di sampingnya. "Akha? Akha? Kau melamun?"

"Heh? Ada apa?"

Rigel menghela napas, "Sebentar lagi dirasuk setan kau."

Akha hanya tersenyum kecil, kentara sekali ia terlihat tidak fokus dengan matanya yang masih mencuri-curi lihat keberadaan Hara yang telah jauh dari kedai.

"Tadi itu siapa?" tanya Rigel yang menyadari gelagat Akha.

Pertanyaan itu dibalas gelengan pelan. Akha langsung mengubah topik, "Tadi dicariin Astrid tuh!"
. . .


Komentar

Postingan populer dari blog ini

CIta-cita Anak Labschool

Liburan Sekolahku